Sabtu, 24 September 2016

Pengrajin Reog Pak Sarju



Bertahan Hidup di Bawah Reog

Pak Sarju duduk menghadap beberapa pekerjanya yang tengah mengerjakan pesanan kepala singa yang akan dikirim minggu depan ke Jawa Barat. Tidak seperti hari biasanya, Pak Sarju yang tepat duduk berada di belakang display usahanya itu tidak lagi dapat mengarahkan pekerjanya yang tengah membuat peralatan reog. Karena penyakit stroke yang dideritanya sejak satu bulan lalu, Pak Sarju memang tidak dapat berbicara, untuk berjalan menuju tempat usahanya saja, dia harus dibopong oleh beberapa anggota keluarganya.

Untungnya Pak Sarju masih memiliki menantu yang juga mencintai kesenian reog, sekaligus terampil membuat peralatan reog. Kini usahanya dijalankan oleh menantunya, Supriyanto, dibantu enam karyawan tetapnya. Sarju adalah salah satu pengusaha peralatan reog di Ponorogo yang hingga kini masih tetap eksis mengembangkan usahanya.
Tempat usaha di samping kediamannya, di JI raya Ponorogo Purwantoro, di Desa Carat Sumoroto, Keeamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo, itu masih terlihat ramai pembeli yang mencari aksesoris reog seperti kaos, eelana panjang, eambuk keeil dan topeng kecil, atau miniatur kepala reog, dan sebagainya.

Supriyanto menjelaskan, aktif di perkumpulan reog selama kurang lebih 35 tahun dan sempat berkeliling dunia untuk bermain pertunjukan reog, menginspirasi mertuanya untuk memproduksi peralatan reog sendiri, seiring dengan semakin terkenalnya seni reog. Pertimbangan tenaga karena usianya sudah semakin tua, Sarju pada 1994 memulai membuka usaha memproduksi peralatan reog beserta aksesoris pendukungnya.

Sedikit demi sedikit perlengkapan reog yang diproduksi Sarju seperti peralatan . musik reog, dadak, topeng, barongan, topeng bujang ganom dan busana reog laris diserap pasar dari dalam maupUn luar negeri seperti Arab, Amerika, Australia dan Rusia.

Untuk satu paket peralatan reog dengan kualitas biasa, Sarju menjual dengan harga Rp 24 juta. Sementara untuk paket dengan kualitas super, perlengkaan reog dijual  dengan harga Rp 30 juta. “Paket super itu dengan lebar dadak yang lebih besar berukuran 2,25 meter dengan berat 25 kilogram dan tampilan kepala singa yang lebih seram,” katanya.
Penjualan peralatan reog akan meningkat hingga 30 persen menjelang waktu-waktu tertentu seperti menjelang bulan Agustus dan bulan Muharam.




BahanAlam


Pembuatan perlengkapan seni reog sebagian besar memanfaatkan bahan-bahan alami seperti kayu. Kayu biasanyadimanfaatkan untuk membuat kepala singa, topeng, dadak dan alat penyangga genongan. “Untuk kepala singa dan topeng, kayu yang dipakai biasanya kayu dadap, sementara untuk dadak menggunakan rotan dan bambu,” kat;a Supriyanto. Selain menggunakan kayu, beberapa bagia perlengkapan reog lainnya menggunakan bagian tubuh binatang, seperti ekor kambing atau sapi untuk rambut topeng, bulu merak untuk menghiasi dadak, dan kulit macan. untuk kepala singa.
Supriyanto mengaku seringkali merasa kesulitan untuk mendapatkan beberapa jenis tubuh binatang, seperti rambut ekor sapi untuk rambut topeng, bulu merak untuk dadak, atau kulit macan untuk kepala reog. “Kadang untuk mengantisipasi terbatasnya bahan kulit macan, kami gunakan kulit sapi yang digambar motif kulit macan,” katanya.

Tapi khusus untuk bulu merak, dia sengaja khusus mendatangkan dari India, karena kualitas kulit merak India lebih bagus dari warna dan motif. Bulu merak tersebut biasanya didatangkan pada bulan November Desember, karena saat itu merupakan musim rontok bulu merak. Dia juga mendatangkan dalam jumlah besar, agar dapat dijadikan stok untuk kebutuhan selama satu tahun.
Keluarga besar Sarju memang terkenal sebagai keluarga pecinta reog. Dua orang putranya membantu membesarkan usaha pembuatan peralatan reog, sementara tiga menantu laki-Iakinya juga turut membantu, termasuk Supriyanto. Beberapa di antara putra dan menantunya juga masih aktif di perkumpulan-perkumpulan reog di Ponorogo.

 
 




Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:  TEROPONG, Edisi 51, Mei- Juni 2010, hlm. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar