Bertahan Hidup di Bawah Reog
Pak Sarju duduk menghadap beberapa pekerjanya yang tengah mengerjakan
pesanan kepala singa yang akan dikirim minggu depan ke Jawa Barat. Tidak
seperti hari biasanya, Pak Sarju yang tepat duduk berada di belakang display usahanya
itu tidak lagi dapat mengarahkan pekerjanya yang tengah membuat peralatan reog.
Karena penyakit stroke yang dideritanya sejak satu bulan lalu, Pak Sarju memang
tidak dapat berbicara, untuk berjalan menuju tempat usahanya saja, dia harus
dibopong oleh beberapa anggota keluarganya.
Untungnya Pak Sarju masih memiliki menantu yang juga mencintai kesenian
reog, sekaligus terampil membuat peralatan reog. Kini usahanya dijalankan oleh
menantunya, Supriyanto, dibantu enam karyawan tetapnya. Sarju adalah salah satu
pengusaha peralatan reog di Ponorogo yang hingga kini masih tetap eksis
mengembangkan usahanya.
Tempat usaha di samping kediamannya, di JI raya Ponorogo Purwantoro, di Desa
Carat Sumoroto, Keeamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo, itu masih terlihat ramai
pembeli yang mencari aksesoris reog seperti kaos, eelana panjang, eambuk keeil
dan topeng kecil, atau miniatur kepala reog, dan sebagainya.
Supriyanto menjelaskan, aktif di perkumpulan reog selama kurang lebih 35
tahun dan sempat berkeliling dunia untuk bermain pertunjukan reog,
menginspirasi mertuanya untuk memproduksi peralatan reog sendiri, seiring
dengan semakin terkenalnya seni reog. Pertimbangan tenaga karena usianya sudah
semakin tua, Sarju pada 1994 memulai membuka usaha memproduksi peralatan reog beserta
aksesoris pendukungnya.
Sedikit demi sedikit perlengkapan reog yang diproduksi Sarju seperti
peralatan . musik reog, dadak, topeng, barongan, topeng bujang ganom dan busana
reog laris diserap pasar dari dalam maupUn luar negeri seperti Arab, Amerika, Australia
dan Rusia.
Untuk satu paket peralatan reog dengan kualitas biasa, Sarju menjual dengan
harga Rp 24 juta. Sementara untuk paket dengan kualitas super, perlengkaan reog
dijual dengan harga Rp 30 juta. “Paket super itu dengan lebar dadak yang
lebih besar berukuran 2,25 meter dengan berat 25 kilogram dan tampilan kepala
singa yang lebih seram,” katanya.
Penjualan peralatan reog akan meningkat hingga 30 persen menjelang
waktu-waktu tertentu seperti menjelang bulan Agustus dan bulan Muharam.
BahanAlam
Pembuatan perlengkapan seni reog sebagian besar memanfaatkan bahan-bahan
alami seperti kayu. Kayu biasanyadimanfaatkan untuk membuat kepala singa,
topeng, dadak dan alat penyangga genongan. “Untuk kepala singa dan topeng, kayu
yang dipakai biasanya kayu dadap, sementara untuk dadak menggunakan rotan dan
bambu,” kat;a Supriyanto. Selain menggunakan kayu, beberapa bagia perlengkapan
reog lainnya menggunakan bagian tubuh binatang, seperti ekor kambing atau sapi
untuk rambut topeng, bulu merak untuk menghiasi dadak, dan kulit macan. untuk
kepala singa.
Supriyanto mengaku seringkali merasa kesulitan untuk mendapatkan beberapa
jenis tubuh binatang, seperti rambut ekor sapi untuk rambut topeng, bulu merak
untuk dadak, atau kulit macan untuk kepala reog. “Kadang untuk mengantisipasi
terbatasnya bahan kulit macan, kami gunakan kulit sapi yang digambar motif
kulit macan,” katanya.
Tapi khusus untuk bulu merak, dia sengaja khusus mendatangkan dari India,
karena kualitas kulit merak India lebih bagus dari warna dan motif. Bulu merak
tersebut biasanya didatangkan pada bulan November Desember, karena saat itu
merupakan musim rontok bulu merak. Dia juga mendatangkan dalam jumlah besar,
agar dapat dijadikan stok untuk kebutuhan selama satu tahun.
Keluarga besar Sarju memang terkenal sebagai keluarga pecinta reog. Dua
orang putranya membantu membesarkan usaha pembuatan peralatan reog, sementara
tiga menantu laki-Iakinya juga turut membantu, termasuk Supriyanto. Beberapa di
antara putra dan menantunya juga masih aktif di perkumpulan-perkumpulan reog di
Ponorogo.
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: TEROPONG, Edisi 51, Mei- Juni 2010, hlm. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar