Di
Indonesia, mungkin hanya di Kabupaten Ponorogo yang desa-desanya banyak
dihuni warga idiot atau pengidap down syndrome (keterbelakangan
mental). Jumlahnya ratusan orang. Benarkah hanya karena mereka miskin?
SETIDAKNYA terdapat tiga kawasan perkampungan di Kabupaten Ponorogo,
Jatim, yang banyak dihuni warga idiot atau pengidap down syndrome.
Seluruhnya di lereng pegunungan yang mengepung kabupaten itu. Berdasar
hasil penelusuran INDOPOS, total warga yang menderita down syndrome
alias idiot di tiga kawasan tersebut mencapai 445 orang. Jika dirinci
lebih detail, yang paling banyak terdapat di Desa Sidoharjo, Kecamatan
Jambon (323 orang).
|
salah satu keluarga di perkampungan idiot ponorogo |
|
Selanjutnya,
di Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong, terdapat 69 orang dan di Desa
Pandak, Kecamatan Balong, terdapat 53 orang. Di antara tiga wilayah itu,
Desa Sidoharjo memang tercatat paling banyak memiliki warga yang tumbuh
tidak normal. Jumlahnya mencapai 323 orang di antara 5.690 jiwa
penduduk di desa itu (sekitar 5,7 persen). Daerah yang memiliki banyak
warga idiot bisa dikatakan satu tipikal. Yakni, sama-sama berada di
lereng gunung, tanah berkapur yang sulit ditanami, terpencil, akses
transportasi sulit, tiwul (makanan olahan dari singkong) sebagai menu
makan utama, miskin, hingga berpendidikan rendah. Pekerjaan mayoritas
warganya juga sama: buruh tani. Lantaran berada di lereng pegunungan,
mengaksesnya pun tidak mudah.
Setidaknya,
dibutuhkan minimal satu hingga dua jam perjalanan dari pusat Kota
Ponorogo dengan menggunakan kendaraan roda empat. Tiga wilayah tersebut
juga memiliki ciri khas lain, yakni hanya memiliki satu akses jalan
masuk, lantaran sisi-sisi jalannya tertutup oleh perbukitan dan hutan.
Dukuh Sidowayah di Desa Sidoharjo misalnya. Daerah tersebut cukup sulit
diakses oleh pendatang. Hanya ada satu jalan utama setelah melewati
sawahsawah dan hutan. Jalan menyempit saat memasuki desa tersebut.
Umumnya, jalanan terbagi tiga tipe. Aspal, makadam, serta tanah dengan
berbagai tanjakan dan turunan khas daerah pegunungan. Untuk yang baru
pertama ke sana, tidak berlebihan jika menyamakan akses masuk ke
Sidowayah mirip dengan film-film horor Indonesia.
Sepi,
banyak pohon menjulang tinggi, penerangan rumah minim, terutama jika
malam, dan jalan sempit dengan berbagai belokan yang membingungkan. Jika
dibandingkan dengan akses menuju Kecamatan Balong, Sidowayah bisa
dikatakan paling berat. Desa Pandak juga demikian. Jalan sempit sudah
terasa saat memasuki akses menuju Pandak. Kiri kanan berupa hamparan
sawah dan hutan. Di situ, jalan lebih parah karena mayoritas berupa
makadam. Tidak hanya itu, jalan hanya mampu ditaklukkan oleh roda dua.
Namun, semua kendaraan dipastikan lumpuh saat hujan turun karena akses
jalan menuju perbukitan masih berupa tanah liat. Begitu banyaknya warga
yang mengalami keterbelakangan mental, warga tidak lagi mempermasalahkan
mereka. ’’Mereka bukan masalah bagi kami,’’ ujar Kades Sidoharjo Parnu.
Pola interaksi yang terjadi juga tidak jauh berbeda dengan kehidupan
manusia normal. Penderita keterbelakangan mental yang bisa bekerja
diarahkan untuk membantu orang tua.
Mereka
yang tidak bisa diajari apa pun dibiarkan begitu saja berkeliaran di
perkampungan. Karena tidak ada satu pun yang bertipe menyerang, warga
tidak pernah merasa terganggu. Sisi perekonomian jelas tidak bisa
dibanggakan. Sebagai buruh tani, bisa jadi penghasilan mereka Rp 100
ribu–Rp 300 ribu per bulan. Dengan rendahnya penghasilan ditambah lagi
keluarga yang ratarata mempunyai anak lebih dari dua, ujung-ujungnya
warga tidak bisa mengonsumsi makanan bergizi secara rutin. Ironi memang.
Menurut keterangan tiga Kades yang wilayahnya banyak dihuni warga idiot
(Sidoharjo, Karangpatihan, dan Pandak) , warganya hanya bisa menikmati
nasi saat pembagian beras untuk keluarga miskin (raskin). Beras jatah
pemerintah itu hanya bisa dikonsumsi beberapa hari. Setelah itu, kembali
lagi mereka mengonsumsi tiwul. ’’Biasanya tanpa lauk. Tiwul itu saja
makanannya,’’ ucap Kades Pandak Yaimun. Seperti yang terjadi di rumah
Janem, 70. Saat ke rumahnya, dia sedang menjemur singkong di halaman.
Di
dalam rumah, Bandi, 43, dan Jemari, 40, sedang memegang tempe berisi
tiwul. Tidak ada lauk di tumpukan tiwul itu. Di dalam rumah itu juga
tidak terdapat banyak perabot. Hanya dipan tanpa kasur yang digunakan
untuk duduk oleh dua anaknya yang samasama idiot itu. Nah, tiwul yang
mengandung gaitan dan cooksey sebagai zat goitrogenik itulah yang
ditengarai menjadi pemicu munculnya kasus down syndrome. Zat yang
terkandung di dalam singkong bisa merusak metabolisme yodium. Akibatnya,
warga kawasan itu menderita gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY).
Namun, di balik kisah kemiskinan di desa-desa itu, ada yang menarik.
Yakni, kisah Mbah Temu, 65, warga Dukuh Sidowayah. Dia memang tidak
mengalami keterbelakangan mental, tetapi buta. Meski buta, setiap hari
dia memanjat pohon jati yang menjulang tinggi untuk mengambil daunnya.
Daun-daun itu dijatuhkan, lalu dikumpulkan kembali. Setiap helai daun
biasanya dihargai sekitar Rp 2. Kisah lainnya datang dari Desa
Karangpatihan.
Keluarga
yang anggota keluarganya banyak mengidap idiot adalah Giyem. Sayang,
saat INDOPOS berkunjung ke rumah Giyem, dia tidak berada di tempat.
Giyem adalah anak kelima di antara 9 bersaudara. Kondisi dia normal.
Tetapi, empat adiknya mengalami idiot. Mereka adalah Painten, 42,
Boinem, 40, Danem, 38, dan Dayat, 35. Semua tinggal serumah dengan
Giyem. Si bungsu Dayat tergolong down syndrome ringan. Sebab, dia masih
bisa diajak berbicara dan mau bekerja. Selama ini dia bersama Giyem yang
normal menjadi tulang punggung keluarga. Sedangkan tiga kakaknya yang
saat itu duduk di depan rumah hanya bertugas membersihkan rumah.
’’Biasanya saya mencari batu dan mengurus kambing,’’ ucap Dayat, lantas
terkekeh sendiri.
Apa
yang membuat kampung-kampung itu banyak dihuni warga idiot? Kadinkes
Ponorogo Andy Nurdiana Diah menyebut dampak GAKY tidak hanya pada
pembesaran kelenjar gondok. Yang lebih penting adalah terhambatnya
perkembangan tingkat kecerdasan otak pada janin dan anak. Kerusakan
saraf otak bisa mengakibatkan rendahnya nilai IQ (intelligent guotient)
penderita GAKY. ’’Itulah yang sebenarnya terjadi di sini. Jadi, bukan
disebabkan perkawinan sedarah, meski itu bisa saja terjadi,’’ jelasnya.
Ada versi lain terkait asal muasal kampung idiot itu. Ada satu cerita
yang disepakati warga Karangpatihan dan Pandak. Yakni, bermula pada 1963
hingga 1967. Konon, saat itu dua desa tersebut terserang hama tikus
yang menyerang selama empat tahun.
Kades
Karangpatihan Daud Cahyono yang saat itu masih balita saat bencana
terjadi ingat betul bagaimana susahnya warga. Seluruh hasil bumi menjadi
rusak dan warga gagal panen. Lokasi desa yang terpencil dan minimnya
akses membuat warga tidak memiliki banyak pilihan makanan. ’’Padahal,
saat itu banyak ibu hamil,’’ kenangnya. Lahir dari ibu yang kekurangan
gizi membuat bayi-bayi Karangpatihan menjadi tumbuh tidak normal.
Jumlahnya semakin banyak karena hama tersebut menyerang selama empat
tahun. Warga semakin menderita karena tanah di kawasan tersebut bersifat
tadah hujan. Tidak bisa setiap saat ditanami padi. ’’Biasanya, setahun
hanya sekali tanam,’’ terangnya. Versi lainnya, kali ini berbau mitos.
Konon, kawasan Sidoharjo, khususnya Dukuh Sidowayah, berdekatan dengan
hutan lebat. Tidak sedikit warga yang menganggap keberadaan
kampung-kampung idiot itu sebagai kutukan. ’’Masyarakat di sini masih
sangat percaya dengan mistis,’’ kata Indadi, kamituwo (kepala dukuh
Sidowayah).
Meski
demikian, tiga kepala desa yang warganya banyak mengidap
keterbelakangan mental itu tidak terlalu memedulikan apa penyebab
warganya seperti itu. Mereka mengharapkan adanya sebuah langkah serius
dari pemerintah untuk menghentikan munculnya generasi baru seperti itu.
Tidak hanya itu, seluruh perangkat desa juga dipusingkan dengan masa
depan mereka. ’’Sebagai Kades, kami tidak bisa berbuat banyak,’’ tambah
Daud kembali. Harapan-harapan itulah yang selama ini dipupuk oleh para
perangkat desa. Yaimun juga demikian. Sebagai kepala wilayah yang
memiliki delapan balita dengan status down syndrome, beban pekerjaannya
bertambah. Warga asli Pandak itu khawatir dengan masa depan para balita
itu daripada penderita dewasa. ’’Warga kami miskin, sementara kebutuhan
semakin mahal. Entah apa yang harus kami lakukan,’’ ujarnya lirih.
(dim/c4/ kum)